Jumong – Episode 65

So Seo No dan Sayong naik ke dalam kapal bajak laut Eu Pru.
Di lain pihak, Dae So dan Song Yang mengadakan pertemuan.

Jumong telah tiba di GyehRu. Sesampainya disana, ia langsung mendapatkan kabar mencemaskan.
“Dia mencoba merusak persatuan Jolbon.” kata Chae Ryeong.
“Ya, kita harus melenyapkan pria tua itu.” tambah Yang Tak.
“Semua itu bukan salah Song Yang.” kata Jumong. “Ini salahku karena tidak menyelesaikan masalah dengan cepat.”
“Keributan ini terjadi karena desas-desus bahwa kau telah terbunuh.” kata Ma Ri. “Kau harus menunjukkan pada semua orang bahwa kau masih hidup untuk menenangkan mereka.”

Pertemuan antara Dae So dan Song Yang mendapatkan hasil bahwa BiRyu, Hwanna, Gwanna dan Yunna akan mundur begitu pasukan BuYeo menyerang GyehRu.
Dae So memerintahkan pada Bu Beo No agar ia tidak membiarkan seorang prajurit pun yang meninggalkan perkemahan.

Ye Soya datang ke kamar Yoo Hwa sambil menangis cemas. “Ibu, Seol Ran membawa Yuri.” katanya. “Apa yang harus kita lakukan?”
Di kamar Seol Ran, Yuri sedang duduk manis.
Seol Ran mengusap wajah Yuri. “Ia kelihatan cerdas.” kata Seol Ran, tersenyum. “Yuri.” panggil Seol Ran.
“Ya?” jawab Yuri.
“Mulai sekarang, anggap aku sebagai ibumu.” kata Seol Ran. “Aku akan membesarkanmu seperti putraku sendiri.”
Yuri diam saja, mungkin belum bisa mengerti kata-kata Seol Ran.
Seol Ran menyuruh pelayannya membawa Yuri pergi.
“Apa rencanamu?” tanya Hao Chen.
“Karena Jumong sudah mati, maka Yoo Hwa dan Ye Soya juga akan mati.” kata Seol Ran. “Aku akan membesarkan Yuri.”
“Raja Geum Wa membesarkan Jumong, namun kini mereka berakhir saling memusuhi.” kata Hao Chen cemas. “Membesarkan Yuri sangat berbahaya.”
“Jangan khawatir.” ujar Seol Ran. “Lagipula, aku tidak bisa memiliki anak. Aku akan membesarkan Yuri untuk melampiaskan kemarahanku.”

Pelayan Seol Ran membawa Yuri kembali pada Ye Soya.
Ye Soya langsung menggendong putranya.

Karena peperangan akan segera terjadi antara Han-BuYeo melawan Jolbon-Pasukan Da Mul, maka Bu Beo No akan segera mencari cara mengeluarkan Yoo Hwa dan Ye Soya keluar dari istana BuYeo.

Malam itu, Jumong, Ma Ri, Oyi dan Hyeobpo menyusup ke BiRyu untuk menemui Song Yang.
“Jika kau pergi untuk mendapatkan makanan, lalu kenapa kau tidak memberitahu padaku?” tanya Song Yang.
“Jika mata-mata mengetahui, maka penjagaan akan semakin ketat.” ujar Jumong.
“BuYeo mencoba menyerang Jolbon karena mereka berpikir bahwa kau sudah tewas.” kata Song Yang. Ia memberitahu pada Jumong bahwa Dae So berjanji akan mengapuni mereka jika mereka mundur saat BuYeo menyerang GyehRu. “Aku tidak punya pilihan lain.” kata Song Yang.
“Bagus.” kata Jumong. “Jangan katakan pada Kepala Klan lain bahwa aku masih hidup. Bersikaplah seolah-olah kau memihak Dae So.”
“Kita mungkin tidak akan bisa menang melawan BuYeo yang dibekali pasukan bantuan dan kebutuhan perang dari Han.” kata Song Yang.
“Tapi, mereka berpikir bahwa aku sudah mati dan klan lain akan mundur. Itulah kelemahan mereka.” kata Jumong. “Kita akan memenangkan peperangan. Percayalah padaku.”
Song Yang mengangguk.

“Kumpulkan semua prajurit yang menjaga perbatasan ke perkemahan kita di dekat Sungai BiRyu.” kata Dae So memberi instruksi.
“Pangeran, kita tidak boleh menarik pasukan yang menjaga perbatasan.” kata Heuk Chi menolak.
“Alasan kenapa Song Yang menyerah pada Jumong adalah karena GyehRu membakar stok kebutuhan perang mereka.” kata Dae So menjelaskan. “Mereka akan berusaha melakukan hal yang sama pada kita. Karena itulah, kita harus menjaga stok perang dengan baik agar kita bisa menyelesaikan perang dengan cepat. Para prajurit perbatasan akan menjaga kemah stok perang.”
Dae So sendiri yang akan memimpin pasukan tambahan. Jenderal Heuk Chi akan memimpin pasukan utama. Dae So memerintahkan Jenderal Chun Gu dan Ji Gu untuk memotong tempat melarikan diri musuh, kemudian membunuh mereka.
Bu Beo No mendengarkan dengan seksama.

Bu Beo No menemui Yoo Hwa dan Ye Soya dan mengajak mereka keluar dari istana malam ini.
“Jika kami bersamamu, kami hanya akan memperlambat.” kata Yoo Hwa. “Kami akan mencoba keluar dari sini sendiri. Segera pergi ke Jolbon dan beritahukan Jumong.”
Bu Beo No menolak.
“Jangan khawatirkan kami.” kata Ye Soya. “Cepatlah pergi.”
Bu Beo No akhirnya setuju.

Keesokkan harinya, Dae So memerintahkan Bu Beo No menyusup ke Jolbon dan memberitahukan tindak-tanduk di Jolbon.
Bu Beo No pergi bersama dengan beberapa prajurit BuYeo yang menyamar. Di tengah perjalanan, Bu Beo No membunuh semua prajurit yang ikut dengannya, kemudian menuju GyehRu.
“Pangeran Dae So memimpin pasukan tambahan untuk menyerang GyehRu dari Lembah Akbu.” kata Bu Beo No. “Pasukan tambahan terdiri dari prajurit-prajurit terbaik.”
“Ada berapa prajurit di pasukan itu?” tanya Jumong.
“Sekitar 2000 orang.” jawab Bu Beo No.
Ma Ri tertawa. “Menyerang GyehRu hanya dengan 200 pasukan?” tanyanya. “Pangeran Dae So kurang berhati-hati. Rencanamu berhasil, Jenderal.”
Jumong mengangguk, kemudian berkata pada Bu Beo No. “Katakan pada Dae So bahwa kami akan menyergap di Lembah Akbu. Pancing pasukan tambahan ke Sungai BiRyu.”
“Aku mengerti.” kata Bu Beo No.
“Menteri Sayap Kanan dan Kiri.” panggil Jumong pada Ma Ri dan Jae Sa. “Katakan pada Pasukan Da Mul bahwa aku masih hidup, lalu siapkan serangan api.”
“Ya, Jenderal!”

Jumong dan para perwiranya keluar. Di sana, mereka melihat Hyeopbo berjalan dengan gerakan kaku dan aneh.
“Apa itu?” tanya Ma Ri.
“Aku sedang mencoba baju perang yang dibuat Mo Pal Mo.” jawab Hyeopbo, seperti kesulitan bernapas. “Bagaimana kelihatannya, Jenderal?”
“Tidakkah kau merasa tidak nyaman?” tanya Jumong. “Ayo!” ajaknya pada para perwiranya.
Ma Ri tertawa dan mengetuk baju perang itu dengan pangkal pedangnya. Jae Sa ikut-ikutan.

Jumong dan para perwiranya menuju markas perkemahan Pasukan Da Mul. Pasukan Da Mul bersorak senang melihat Jumong masih hidup.
“Aku akan bergabung dengan kalian dan bertarung melawan Pasukan BuYeo!” seru Jumong pada Pasukan Da Mul. “Ayo kita habisi Pasukan BuYeo bersama-sama!”
Pasukan Da Mul bersorak. “Habisi mereka! Habisi mereka!”

Keesokkan harinya, Dae So dan pasukannya mulai bergerak. Bu Beo No menjalankan perintah Jumong dan menyarankan pada Dae So agar ia mengerahkan pasukannya melewati Sungai BiRyu. Dae So setuju.

Malamnya, Jumong dan Pasukan Da Mul bersembunyi untuk menyergap pasukan Dae So. Saat Dae So dan pasukannya sudah dekat dan berada dalam jarak tembak panah mereka, Jumong dan yang lainnya menembakkan anak panah api. Rumput-rumput yang kering akibat kemarau panjang membuat api menjadi cepat terbakar.
“Serang!” seru Jumong.
Pasukan BuYeo kelabakan karena api.
“Mundur!” perintah Dae So.
Terjadi peperangan sengit antara BuYeo dan Da Mul.
Hyeopbo memang agak sulit bergerak karena baju perang Mo Pal Mo yang kaku, namun baju itu membuat serangan-serangan pedang musuh tidak mempan padanya.
Dae So menatap Bu Beo No, yang bertarung melawan Pasukan BuYeo. Dae So marah dan maju menyerang Bu Beo No. Jumong melindunginya dan menangkis serangan Dae So.

Dae So versus Jumong.
“Kau menipuku!” seru Dae So marah besar.
“Aku tidak menipumu.” kata Jumong. “Keangkuhanmu yang menyebabkan semua ini.”
Dae So menyerang Jumong, nyaris membabi buta. Jumong berhasil menjatuhkan Dae So dan melukai lengannya.
“Pangeran!” seru Na Ru.
Pasukan BuYeo maju untuk melindungi Dae So. Na Ru menahan Dae So.
“Lepaskan aku!” teriak Dae So.
“Pangeran! Kau harus pergi dari sini!” teriak Na Ru, menarik Dae So pergi.
Dae So dan Na Ru berhasil meloloskan diri.

Kekalahan telak dialami oleh Pasukan BuYeo. Dae So dan pasukannya kembali ke istana dengan babak-belur.
“Walaupun aku kalah, namun kita hanya kehilangan sedikit prajurit.” kata Dae So. “Aku akan memanggil semua prajurit yang mengepung Jolbon untuk menyerang Jumong. Aku akan membunuh Jumong karena berani mengolok-olok kita. Berikan aku kesempatan sekali lagi.”
Geum Wa menarik napas. “Kau tidak bisa berperang dalam kondisi seperti itu.” katanya. “Kau harus mengurusi dirimu sendiri dulu.”

Seol Ran berusaha mendekati dan mengajari Yuri. Ia mengajak Yuri bertemu dengan Wan Ho.
“Ini adalah permaisuri.” kata Seol Ran pada Yuri. “Beri hormat padanya.”
Yuri membungkuk untuk memberi hormat pada Wan Ho.
“Aku merasa tidak nyaman di dekatnya.” kata Wan Ho. “Dia mirip sekali dengan Jumong.”
“Saat Putra Mahkota menduduki tahta, aku akan meminta izinnya untuk membesarkan Yuri.” kata Seol Ran.
“Beraninya kau berkata seperti itu?!” seru Ye Soya, mendadak muncul dan menggendong Yuri.
“Beraninya kau berteriak di depan permaisuri!” seru Seol Ran. “Rupanya kau ingin mati! Tunggu apa lagi, cepat tangkap dia!”
“Tidak perlu.” kata Wan Ho. “Aku memaafkanmu kali ini karena kau bersikap seperti itu sebagai seorang ibu. Tapi jika kau melakukannya lagi, aku tidak akan memaafkanmu.”

Karena Jumong masih hidup, Geum Wa dan Yang Jung tidak lagi ingin berperang. Mereka berpikiran sama. Menekan Jolbon dan Pasukan Da Mul dengan embargo jauh lebih efektif dibanding berperang.
Dae So benar-benar frustasi karena kekalahannya itu. Ditambah lagi, Na Ru mengatakan bahwa Jumong dan beberapa prajuritnya melewati blokade dan pergi ke OkJo. Dae So memerintahkan Na Ru agar mencari tahu kenapa Jumong pergi ke OkJo.

Rakyat Jolbon menyambut kedatangan Jumong dan Pasukan Da Mul dengan sorak-sorai. Para Kepala Klan Jolbon datang dan meminta maaf pada Jumong.
“Perjalanan untuk membangun sebuah negara baru tidaklah mudah.” kata Jumong. “Aku tidak menyalahkan kalian karena takut pada Han dan BuYeo. Aku akan membebaskan Jolbon dari blokade dan melindungi Jolbon.” janji Jumong.

Seusai perang, Jumong langsung mengajak perwiranya untuk berkunjung ke BiRyu dan Gwanna. Kondisi di kedua klan itu sangat menyedihkan. Makanan sangat langka sehingga banyak rakyat yang kelaparan dan mati karena kelaparan.

Jumong dan perwiranya kembali ke GyehRu dan mengadakan rapat.
“Lebih banyak lagi warga yang mati karena cuaca dingin dan tidak ada makanan.” kata Mo Pal Mo sedih.
“Kurasa, kita harus menyiapkan rencana cadangan jika Bu Wi Yeom tidak berhasil.” kata Jae So.
“Kita harus menyatukan hati rakyat terlebih dulu.” saran Ma Ri. “Jika terus seperti ini, kita bisa jatuh.”

Hujan terus menerus turun disertai oleh petir dan kilat yang menyambar.
Jumong berpikir.
“Pangeran.” So Ryeong datang dan memanggil Jumong. “Bencana ini datang karena rakyat kehilangan harapan. Mereka takut mati karena Han dan BuYeo.”
“Langit sedang mengujiku.” kata Jumong. “Aku akan melakukan upacara ritual dan mengumpulkan hati rakyat yang ketakutan. Tolong persiapkan untuk upacara ritual.”
“Aku mengerti.”

Hujan masih turun dengan lebat keesokkan harinya.
Jumong berdoa dan mengadakan upacara ritual di bawah derasnya hujan.
“So Ryeong, tolong hentikan Jenderal.” kata Oyi, melihat Jumong yang tidak juga bergerak sampai beberapa hari. “Sudah lima hari sejak ia berdoa dibawah hujan. Ia bisa jatuh sakit.”
“Kita hanya bisa berharap agar doanya mencapai langit.” ujar So Ryeong.
Rakyat berbondong-bondong datang dan ikut berdoa di belakang Jumong.
Selama bebrapa hari itu, hujan dan saltu terus-menerus turun tanpa berhenti.
“Tuhan langit dan bumi, tolong jaga rakyat Jolbon.” doa Jumong dalam hatinya. “Tubuhku bisa tercabik dan terluka sampai mati, tapi jika aku bisa menyelamatkan rakyat Jolbon, aku rela mati sebagai landasan untuk Goguryeo. Tolong ambil aku dan jagalah Jolbon… dan Goguryeo.”

sumber: princess-chocolates.blogspot.com

By andyfeby Dikirimkan di Jumong Dengan kaitkata

Jangan lupa meninggalkan jejakmu ...